0

biotenologi dalam pertanian

Posted by YULFA UPA (yulfa sari tarigan) on 03.49



Kultur Anther
a.      Pengertian Kultur anther
Anther merupakan kelapa sari yang mengandung serbuk sari (polen), sehingga kultur anther berarti teknik kultur jaringan yang mengikutsertakan polen didalam pengkulturan. Polen yang masih muda (immature) atau mikrospora yang terkandung dalam anther dapat secara langsung bergenerasi membentuk embrio (andogenesis) atau membentuk jaringan kalus yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi menjadi tanaman di bawah pengaruh zat pengatur tumbuh yang terkandung didalam media tanam.Polen bersifat haploid sehingga sel-sel yang diproduksi oleh polen selama dikultur menghasilakan haploid pula.
Kultur anther merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman dengan teknik in-vitro yang bertujuan untuk mendapatkan tanaman haploid (tanaman yang memiliki jumlah kromosom  yang sama dengan kromosom gamet, tergolong dua kategori yaitu monoploid adalah tanaman dengan jumlah kromosom setengah dari spesies diploid dan polihaploid adalah tanaman dengan jumlah kromosom setengah dari spesies polipoidi) yang unggul untuk menghasilkan kultivar-kultivar baru atau hibrida F1.




b.     Kegunaan  Kultur Anther
Kegunaan dari kultur anther merupakan suatu usaha yang menghasilkan tanaman monohaploid yang dapat dikombinasikan dengan mutagen kimia dan fisik sehingga menghasilkan mutan-mutan yang tahan terhadap penyakit khususnya penyakit rebah, toleran terhadap garam tinggi  di tanah dan kondisi kekeringan dan tanaman cepat berbunga.

c.      Kelebihan dan Kekurangan Kultur Anther
Kelebihana dari kultur anther adalah mampu mempersingkat waktu dalam memperoleh sifat homozigositas, sedangkan kelemahannya adalah berpeluang memunculkan sifat resesif unggul yang pada kondisi normal tidak akan muncul karena tertutup oleh sifat dominan, kecilnya persentase regenerasi, albino, tidak semua genotif responsif terhadap kultur anther.

d.     Aplikasi Kultur Anther
Aplikasi untuk kultur anther meliputi teknik untuk produksi tanaman haploid, menemukan mutasi atau fenotif resesif, produksi galur diploid homozigot melalui penggandaan kromosom, sehingga mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan galur inbred.




e.      Faktor yang Mempengaruhi Teknik Kultur Anther
1.     Genotif
Genotif dari sumber bahan anther memegang peranan penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kultur anther. Tidak terlalu banyak jenis tanaman yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi tanaman haploid melalui kultur anther.
2.     Komposisi Media Kultur
Andogenesis dapat dikembangkan pada komposisi yang sesuai dengan kebutuhan kultur embrio.
3.     Kondisi Tanaman Donor
Umur dan kondisi fisiologis tanaman donor sering mempengaruhi keberhasilan kultur anther. Pada sebagian besar spesies, respon yang paling baik berasal dari bunga pertama yang dihasilkan oleh tanaman.Sebagaimana umumnya antera yang dikulturkanharus berasal dari bunga yang masih kuncup.
4.     Tahap Perkembangan Polen
            Faktor kritis yang mempengaruhi produksi tanaman haploid dari kultur anther adalah tahap perkembangan mikrospora. Pada sebagian besar jenis tanaman, anther hanya responsive selama fase un-inukleat dari perkembangan polen  
5.     Pra perlakuan
Pada beberapa spesies tanaman, produksi kultur anthernya dipengaruhi oleh perlakuan pemberian suhu pada kuncup bunga sebelum proses sterrilisasi dan isolasi anther. Produktivitas tanaman dapat dilakuakan pada suhu antara 4-100 oC selama 3  hari sampai 3 minggu dan pada umumnya penyimpanan pada suhu yang rendah memerlukan waktu yang lebih pendek dan sebaliknya (Luqman, 2012).

FUSI PROTOPLASMA
Fusi protoplas adalah salah satu metode persilangan atau hibridisasitanaman dengan memanfaatkan rekayasa genetika konvensional.[1]Protoplas adalah sel tanaman tanpa bagian dinding sel.[2] Teknik fusi protoplas dapat digunakan untuk mencampur sifat genetik dari spesies tanaman yang sama ataupun dari spesies yang berbeda. Selain itu, teknik ini menguntungkan untuk diterapkan dalam persilangan tanamansteril ataupun tanaman dengan siklus hidup yang panjang.[3] Untuk menginduksi atau mendukung terjadinya fusi protoplas dapat dilakukan dengan pemakaian senyawa kimia seperti polietilen glikol (PEG) ataupun penggunaan arus listrik untuk membantu fusi (elektrofusi).[3] Ketika dua protoplas bersatu, dapat terjadi pemisahana atau penggabungan dua inti sel (nukleus) sehingga menghasilkan tanaman dengan sifat baru hasil pencampuran kedua tetua.[4] Apabila salah satu inti sel hilang selama terjadinya fusi maka akan dihasilkan sel baru yang disebut sitoplasmik hibrid (cybrid).
          Fusi protoplasma adalah penggabungan dua sel dari jaringan yang sama (organisme berbeda) dalam suatu medan listrik. Fusi protoplasma pada tumbuhan melalui tahap-tahap, 1)  menyiapkan protoplasma dari sel-sel yang masih muda karena dinding sel tipis serta protoplasma yang banyak dan utuh, 2) mengisolasi protoplasma sel dengan cara menghilangkan dinding selnya dengan menggunakan enzim kemudian dilakukan penyaringan dan sentrifugasi berkali-kali, 3) Protoplasma yang didapat kemudian diuji viabilitasnya (aktivitas hidupnya) dengan cara melihat aktivitas organel, misalnya melihat aktivitas fotosintesisnya.
Fusi protoplasma pada sel hewan dan manusia sangat berguna terutama untuk menghasilkan hibridoma.Hibridoma merupakan hasil fusi yang terjadi antara sel pembentuk antibody dan sel mieloma.Sel pembentuk antibodi ini adalah sel limfosit B, sedangkan sel mieloma sendiri merupakan sel kanker.Sel hibridoma yang dihasilkan dapat membelah secara tidak terbatas seperti sel kanker, tetapi juga menghasilkan antibodi seperti sel-sel limfosit B. Hibridoma yang dihasilkan diseleksi karena setiap sel menghasilkan antibodi yang sifatnya khas.Satu antibodi yang dihasilkan spesifik untuk satu antigen.Setiap hibrid ini kemudian diperbanyak (dikloning).Oleh karena antibodi ini berasal dari satu klon maka antibodi ini disebut antibodi monoklonal.
Tujuan fusi protoplas adalah untuk mendapatkan suatu hibrida somatic atau sibrida atau mengatasi kelemahan dari hibrida seksual.
Terdapat kelemahan dari hibrida seksusal, yaitu:
· Sukar untuk mendapatkan suatu hibrida antar spesies dan antar genera.
- Hibridisasi somatik dapat mengatasi hal tersebut.
·Sitoplasma pada perkawinan seksual hanya berasal dari induk betina saja.
·  Dalam proses pembuahan, ganet jantan hanya membawa inti saja dengan sedikit sitoplasma sebaliknya pada tetua betina selain inti juga sitoplasma.
· Untuk mendapat sitoplasma dari kedua tetua diadakan fusi antara sitoplasma.
· Fusi protoplas dapat dimanfaatkan untuk melakukan persilangan antar spesies atau galur tanaman yang tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan persilangan biasa karena adanya masalah inkompatibilitas fisik.
Fusi protoplas membuka kemungkinan untuk:
1.          Menghasilkan hibrid somatik amphidiploid yang fertil antar spesies yang secara seksual tidak kompatibel
2.          Menghasilkan galur heterozigot dalam satu spesies tanaman yang secara normal hanya dapat diperbanyak dengan cara vegetatif, misalnya pada kentang.
3.          Memindahkan sebagian informasi genetik dari satu spesies ke spesies lain dengan memanfaatkan fenomena yang disebut penghilangan kromosom (chromosome elimination).
4.          Memindahkan informasi genetik yang ada di sitoplasma dari satu galur atau spesies ke galur atau spesies lain
Fusi protoplas dapat menghasilkan dua macam kemungkinan produk:
1.          Hibrid, jika nukleus dari kedua spesies tersebut betul-betul mengalami fusi (menyatu)
2.          Cybrid (cytoplasmid hybrid ataru heteroplast), jika hanya sitoplasma yang mengalami fusi sedangkan informasi genetik dari salah satu induknya hilang.

Teknik ini memiliki kelebihan dan kekurangan.Kelebihan dari teknik ini adalah dapat menghasilkan tanaman dengan sifat tertentu dan dapat dilakukan dengan spesies yang berbeda.Kekurangan dari teknik ini adalah memerlukan biaya yang mahal serta butuh ketelitan yang lebih.


MARKA MOLEKULER
Marka molekuler merupakan alat yang baik bagi pemulia dan ahli genetik untuk menganalisis genom mahluk hidup.Marka molekuler dapat diartikan pula sebagai upaya untuk membedakan karakteristik mahluk hidup pada tingkat gen. Penggunaan marka molekuler utamanya untuk memonitor variasi susunan DNA di dalam dan pada sejumlah spesies serta merekayasa sumber baru variasi genetik dengan mengintroduksi karakter-karakter yang baik.

Identifikasi galur-galur dengan bantuan marka molekuler juga sangat bermanfaat dalam analisis sidik jari (fingerprinting), karena dapat memberikan informasi untuk perencanaan program pemuliaan, terutama dalam pembentukan segregasi baru, varietas hibrida dan sintetik unggul baru serta dalam menentukan tetua yang digunakan untuk memilih pasangan persilangan baru.

Pemilihan marka molekuler yang akan digunakan dalam analisis genetic perlu mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, sumber dana yang dimiliki, fasilitas yang tersedia serta kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe marka. Langkah awal pelaksanaan marka molekuler adalah mengambil bagian hewan atau tumbuhan, biasany berasal dari daun-daun muda atau sel-sel embrio.Kemudian mengisolasi DNAnya dan dicari bagian yang bertanggung jawab terhadap karakter unggul pada hewan atau tumbuhan tersebut. Biasanya DNA yang diisolasi kemudian akan dihubungkan dengan bank data genetika untuk mengidentifikasi gen dan menduga karakter yang diekspresikan. Melalui marka molekuler maka kepemilikan varietas akan diperkuat dengan identitas tumbuhan atau hewannya secara spesifik dalam bentuk gambar atau karakter gen. selanjutnya informasi tersebut menjadi data pendukung deskripsi fisik yang diperoleh dari hasil observasi langsung di lapangan.

Selama ini UPOV, organisasi perlindungan varietas tanaman internasional dengan Konvensi UPOV 1978 yang diperbaharui dengan Konvensi UPOV 1991 membedakan varietas baru dengan varietas yang sudah ada menggunakan karakter morfologis.Sampai saat ini UPOV belum merekomendasikan penggunaan teknik molekuler untuk uji BUSS.Meskipun demikian, UPOV terus melakukan pengkajian penggunaan marka molekuler seperti mikrosatelit. BUSS (Baru Unik Seragam dan Stabil) merupakan persyaratan utama dalam perlindungan varietas tanaman yang harus dievaluasi melalui uji substantif, untuk membuktikan sifat kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan dari varietas yang dimintakan hak perlindungan varietas tanamannya. Selama ini pembedaan varietas baru dengan varietas yang sudah ada dilakukan secara morfologis. Tetapi karena varietas yang dihasilkan pada umumnya memiliki tetua yang tidak berbeda jauh sehingga secara morfologis susah dibedakan. Apalagi untuk varietas tanaman yang berasal dari spesies dengan keragaman genetik yang sempit, seperti misalnya manggis, hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Demikian pula dengan tanaman hias yang diperbanyak secara vegetatif, di mana varietas baru dapat diperoleh dari pemuliaan konvensional melalui persilangan dan seleksi atau  variasi yang terjadi secara spontan atau melalui induksi dari varietas asal.
   

Metode Marka molekuler
1.      RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism).


Metode RFLP diestimasi berdasarkan perbedaan ukuran fragmen DNA.Susunan nukleotida spesifik pada sekuens DNA dipotong dengan enzim retriksi endonuclease berdasarkan ukurannya. Selanjutnya hasil pemotongan enzim retriksi endonuclease tersebut dicampur dengan DNA probes dan dilakukan analisis southern bolt. Fragmen DNA yang komplementer dengan probes akan terhibridisasi dan muncul pada layer. Polimorphisme dideteksi berdasarkan perbedaan ukuran fragmen yang muncul.Polimophisme yang dihasilkan dapat disebabkan karena adanya mutasi, insersi, delesi, dll.
Metode RFLP tidak menggunakan PCR dalam pengerjaannya.Kelebihan metode ini adalah konsistensi yang tinggi, informasi sifat pewarisan ko-dominan, dapat diulang tanpa ada perubahan, tidak memerlukan informasi sekuen, dan relatif mudah diidentifikasi karena perbedaan yang besar antar fragmen. Akan tetapi metode ini juga mempunyai beberapa kekurangan yaitu pada beberapa spesies tingkat polimorfisme sangat rendah, menyita banyak tenaga dan waktu, kuantitas dan kualitas DNA yang diperlukan sangat tinggi, prosedur hibridisasinya rumit sehingga menyulitkan otomatisasi, dan memerlukan pustaka probe untuk spesies-spesies tanaman yang belum pernah dieksplorasi sebelumnya.
Metode RFLP mempunyai banyak kegunaan dalam bidang pemuliaan tanaman modern. Aplikasi metode RFLP antara lain digunakan untuk seleksi karakter agronomi, uji kualitas benih, analisis segregasi pada keturunan, dan evaluasi diversitas genetik untuk koleksi plasma nutfah. RFLP juga digunakan sebagai alat untuk mengetahui variabilitas genetik pada tanaman pangan.




2. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).


Metode RAPD merupakan metode yang menggunakan oglionukleotida tunggal pendek (primer), sepanjang 10-12 basa, untuk membentuk fragmen-fragmen DNA.Metode RAPD memanfaatkan PCR untuk mengamplifikasi sekuen DNA yang komplementer terhadap primer. Sekuen DNA yang komplementer dengan primer akan terhibridisasi secara acak (random), selanjutnya dilakukan perbanyakan (amplified) terhadap sekuen-sekuen DNA komplementer tersebut. Tahap selanjutnya yaitu melakukan elektroforesis pada agarose atau polyacrilamide gel untuk memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukurannya. Kemudian dilakukan pewarnaan dengan ethidium bromide dan fragmen-fragmen DNA akan terlihat jika disinari dengan sinar UV.
Metode RAPD dapat menghasilkan beragam pita pada individu dengan primer tunggal.Variasi band yang terlihat umumnya disebut random amplified polymorphic DNA (RAPD) bands. Polimorphisme akan terlihat dan selanjutnya bisa digunakan sebagai marka genetik. Pemanfaatan metode RAPD antara lain untuk deteksi polimophisme sekuens DNA, pemetaan genetik berbagai populasi, keragaman genetik, dan identifikasi varietas serta analisis asal-usul organisme (filogenetik).
Metode RAPD mempunyai keunggulan dan juga kekurangan.Keunggulan metode RAPD yaitu waktu yang dibutuhkan singkat, mudah dilaksanakan, lebih murah, dan primer yang diperlukan sudah banyak dikomersilkan sehingga mudah diperoleh.Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis banyak organisme, karena primer yang digunakan bersifat universal yang berarti primer dapat digunakan tanpa perlu mengetahui informasi sekuen DNA terlebih dahulu.
Kekurangan metode RAPD yaitu marka (primer) yang terlalu umum, sehingga informasi yang diperoleh kurang akurat. Marka RAPD bersifat dominan, dalam arti lain band hasil RAPD tidak menunjukkan perbedaan antara keadaan heterosigos dan homosigos. Selain itu terdapat kesulitan untuk memperoleh pola pita yang identik walaupun digunakan primer dan materi (DNA) yang sama. Masalah lain yang ditemukan adalah pola pita RAPD muncul pada DNA keturunan tetapi tidak muncul pada DNA tetua, dimana fenomena ini biasa disebut heteroduplex formation. Hal ini mungkin disebabkan karena reaksi RAPD dipengaruhi oleh persaingan antar primer sites dalam genom.


3. AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism)


    Metode AFLP merupakan penggabungan antara teknik RFLP dan RAPD. DNA genomik dipotong dengan ezim restriksi seperti pada RFLP, akan tetapi pada AFLP digunakan dua enzim restriksi yang berbeda. Tujuannya adalah memperoleh fragmen dalam jumlah besar.Beberapa fragmen terseleksi diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer universal seperti pada RAPD, walaupun sebenarnya primer yang digunakan tidak benar-benar dipilih secara acak.Primer yang digunakan adalah primer yang komplementer dengan “adapters”.Adapters merupakan oligonukleotida spesifik yang komplementer dengan restriction sites sepanjang 25-30bp dan menempel pada fragmen DNA yang dipotong. Polimorphisme kemudian dideteksi dari perbedaan panjang fragmen hasil amplifikasi PCR pada polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE) atau capillary electrophoresis yang divisualisasi dengan menggunakan otoradiografi atau pewarnaan perak. Pita polimorphik lalu diidentifikasi seperti pada analisis RAPD.Pita polimorphik ini bahkan bisa dipotong dari gel dan disekuensi, yang memungkinkan kita untuk merakit primer PCR spesifik.
    Metode AFLP biasanya digunakan untuk meneliti variasi genetik diantara individu dalam suatu spesies, mengevaluasi variasi genetik untuk koleksi plasma nutfah dan skrining biodiversitas.Metode AFLP juga sering digunakan untuk membuat peta genetik dan percobaan untuk menemukan gen-gen yang bertanggung jawab terhadap karakter tertentu.Kelebihan metode ini yaitu tidak memerlukan informasi sekuen dari genom, hasil amplifikasinya stabil, tingkat pengulangan dan variabilitasnya sangat tinggi, dan dapat mendeteksi variasi genetik diantara spesies, varietas, atau kultivar yang berkerabat dekat.Kekurangan metode ini yaitu pengerjaan yang rumit dan intensif dibandingkan metode lainnya, pengadaan alat dan bahan sangat mahal, serta dibutuhkannya kits yang berbeda-beda yang dapat beradaptasi dengan ukuran genom selama analisis.


4. SSR (Simple Sequence Repeat)


Metode Simple Sequence Repeat (SSR) mempunyai nama lain metode microsatellite atau Simple Tandem Repeat (STR). Metode SSR didasarkan atas pengulangan pasangan sekuen mono-, di-, tri-, tetra-, penta-, dan hexa-nukleotida seperti (TG)n atau (AAT)n. Pasangan sekuen ini tersebar melewati genom sehingga menghasilkan polimorphisme yang tinggi. Dalam pengerjaannya, metode SSR memanfaatkan PCR untuk mengamplifikasi sekuen DNA secara individu menggunakan primer spesifik.Sekuen DNA yang teramplifikasi adalah sekuen DNA yang komplementer dengan primer yang digunakan.Selanjutnya dilakukan elektroforesis pada agarose gel atau polyacrilamide gel untuk memisahkan fragmen DNA yang terbentuk berdasarkan panjang ukuran basa.Kemudian dilakukan pewarnaan pada gel dengan ethidium bromide. Tahap terakhir yaitu visualisasi dengan meletakkan gel dibawah sinar UV sehingga fragmen-fragmen DNA akan terlihat. Polimorphisme dideteksi berdasarkan perbedaan ukuran fragmen DNA akibat perbedaan panjang pengulangan pasangan sekuen

Perbedaan  metode SSR dengan metode RAPD terletak pada primer yang digunakan. Primer SSR merupakan primer tunggal spesifik yang mengamplifikasi hanya pada satu site tertentu, berbeda dengan RAPD yang menggunakan primer universal, yang dapat mengamplifikasi pada beberapa site sekaligus. Primer SSR juga merupakan marka ko-dominan yang dapat membedakan heterosigos dan homosigos sedangkan primer RAPD merupakan marka dominan.Perbedaan lainnya terletak pada pita yang dihasilkan.Metode SSR biasanya hanya menghasilkan satu atau dua pita pada tiap individu sedangkan metode RAPD dapat menghasilkan beragam pita pada tiap individu.
    Metode SSR merupakan salah satu alat molekular yang sering digunakan untuk penelitian diversitas genetik karena keakuratan informasi yang tinggi dan sangat polimorfik bahkan untuk spesies atau galur yang berkerabat dekat.Genetik populasi dan analisis hubungan kekerabatan bisa dilakukan dengan metode SSR. Kelebihan metode ini yaitu primer yang digunakan untuk satu spesies tertentu dapat digunakan untuk berbagai macam tanaman dalam satu spesies, kuantitas DNA yang digunakan sangat kecil, metodenya relatif sederhana dan dapat dilakukan secara otomatis, dan pasangan primer SSR tersedia dipasaran dalam jumlah yang besar. Sedangkan kekurangan metode ini yaitu kesulitan kloning dan sequencing daerah flanking SSR, biaya yang cukup tinggi untuk merancang primer baru yang spesifik.


5. SNP (Single Nucleotide Polymorphism)


    SNP umumnya merupakan variasi DNA yang berasal dari perubahan satu atau dua basa pada sekuen DNA .SNP juga diartikan sebagai variasi sekuen DNA yang terjadi ketika sebuah nukleotida tunggal dari sekuen tersebut berbeda dari sekuen DNA pada umumnya.Jika SNP terjadi pada sebuah gen, SNP dapat mengganggu fungsi gen, yang menghasilkan perbedaan alel pada gen tersebut.SNP dapat digunakan secara efektif sebagai penanda karena perbedaan terjadi pada basa tunggal.Tidak seperti metode SSR, SNP merupakan bagian sekuen itu sendiri bukan ukuran atau panjang sekuen. Pada genom manusia, SNP umumnya terjadi setiap 100 hingga 300bp.
Prinsip dasar dalam pengerjaan SNP beserta teknik yang digunakan meliputi:
-    ASOH (Allele-spesific oligonukleotide hybridization), teknik terkait: allele-specific PCR, 5’ nuclease assay, DNA chips, bead based techniques.
-    Elongasi rantai DNA template-dependent dengan DNA polimerase, teknik terkait: primer extension, pyrosequencing.
-    Double-strand-dependent ligation, teknik terkait: OLA (oligonucleotide ligation assay) yang digabungkan dengan DNA chips atau bead based techniques.
-    Deteksi perbedaan (mismatch detection), teknik terkait: DASH (dynamic allele-specific hybridization), DHLPC (denaturing high-performance liquid chromatography).
 
Deteksi markah SNP bersifat ko-dominan, berdasarkan pada amplifikasi primer yang berbasis pada informasi sekuen untuk gen spesifik.Keunggulan teknik SNP adalah lebih mudah diaplikasikan dibandingkan dengan teknik SSR dan AFLP serta lebih bermanfaat ketika posisi SNP pada lokus sangat berdekatan. Kelemahan dari teknik SNP adalah memerlukan informasi sekuen untuk suatu gen yang menjadi target analisis dan untuk pengadaan alat dan bahan memerlukan biaya yang sangat tinggi.
Keragaman  SOMAKLONAL
Variasi somaklonal adalah keragaman genetik yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Variasi somaklonal pertama kali ditemukan oleh Larkin dan Scowcorf (1989), yang mendefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan batang, maupun sel gamet.
Tidak seperti yang biasa terjadi pada persilangan, dimana keragaman timbul karena segregasi ataupun rekombinasi gen, pada variasi somaklonal keragaman terjadi akibat adanya penggandaan dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah kromosom (tagging dan nondisjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan gen, dan perubahan sitoplasma ( Kumar dan Mathur, 2004).
Variasi somaklonal yang terjadi pada tanaman dapat bersifat diwariskan (heritable) dan tidak diwariskan. Keragaman yang bersifat diwariskan, dikendalikan secara genetik,bersifat stabil dan dapat diturunkan secara seksual ke generasi selanjutnya. Sedangkan yang bersifat tidak bisa diwariskan dikendalikan secara epigenetik, yang biasanya akan hilang bila diturunkan secara seksual (Skirvin et al,1993).
Wattimena dan Mattjik (1992) menyatakan, keragaman genetik pada kultur jaringan dapat dicapai melalui fase tak berdiferensiasi (fase kalus dan sel bebas) yang relatif lebih panjang. Untuk mendapatkan kestabilan genetik pada kultur jaringan, dapat dilakukan dengan cara menginduksi sesingkat mungkin fase pertumbuhan tak berdiferensiasi. Skirvin et al.,1993 dan Jain, 2001 menyatakan bahwa variasi somaklonal dalam kultur jaringan terjadi akibat penggunaan zat pengatur tumbuh dan tingkat konsentrasinya, lama fase pertumbuhan kalus, tipe kultur yang digunakan ( sel, protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan atau tidaknya media seleksi dalam kultur in vitro. Zat pengatur tumbuh kelompok auksin 2,4-D dan 2,4,5-T biasanya dapat menyebabkan terjadinya variasi somaklonal. Pada tanaman kelapa sawit, perlakuan 2,4-D pada kultur kalus yang mampu beregenerasi membentuk tunas menyebabkan variasi somaklonal saat aklimatiasasi di lapangan (Linacero dan Vazquez, 1992; Jayasankar, 2005).
Beberapa sifat tanaman dapat berubah akibat variasi somaklonal, namun sifat lainnya tetap menyerupai induknya. Dengan demikian, variasi somaklonal sangat bermanfaat dalam upaya peningkatan keragaman genetik untuk mendapatkan suatu sifat unggul dengan tetap mempertahankan sifat unggul yang lain.

Variasi somaklonal dalam kultur jaringan terjadi akibat penggunaan zat pengatur tumbuh dan tingkat konsentrasinya, lama fase pertumbuhan kalus, tipe kultur yang digunakan (sel, protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan atau tidaknya media seleksi dalam kultur in vitro(Skirvin et al. 1993; Jain 2001). Zat pengatur tumbuh kelompok auksin 2,4 D dan 2,4,5-T biasanya dapat menyebabkan terjadinya variasi somaklonal. Pada tanaman kelapa sawit, perlakuan 2,4-D pada kultur kalus yang mampu beregenerasi membentuk tunas menyebabkan variasi somaklonal saat aklimatisasi di lapangan (Linacero dan Vazquez 1992; Jayasankar 2005). Beberapa sifat tanaman dapat berubah akibat variasi somaklonal, namun sifat lainnya tetap menyerupai induknya.Dengan demikian, variasi somaklonal sangat memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa sifat yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dimiliki oleh tanaman induk. Tanaman yang berasal dari sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan klon baru yang berbeda dengan induknya.
Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal telah banyak dilakukan, antara lain untuk sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Cara tersebut bermanfaat bila dapat menambah komponen keragaman genetik yang tidak ditemukan di alam serta mengubah sifat dari kultivar yang ada menjadi lebih baik, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau menyerbuk sendiri (Ahloowalia 1990).
Dapat dikatakan bahwa variasi somaklonal telah berhasil memperbaiki sifat produksi beberapa tanaman seperti tomat, tebu, seledri, jagung, padi, dan sorgum Tetapi juga harus dikatakan tentang ketidaksuksesan beberapa percobaan dengan pendekatan ini, misalnya pada tanaman gandum, jagung, dan barley meskipun diusahakan dengan skala yang besar dan ekstensif (Maralappanavaret al., 2000).  Meskipun hasil (regeneran) dari variasi somaklonal tidak dapat diprediksi, beberapa kelebihannya dibandingkan dengan alat (teknik) lainnya adalah:
1) lebih murah dibandingkan dengan pendekatan bioteknologi dengan hibridisasi somatik dan transformasi genetik,
2) sistem kultur jaringan dapat menggunakan lebih banyak spesies tanaman daripada manipulasi dengan hibridisasi somatik dan transformasi genetik,
3) tidak perlu identifikasi sifat (trait) berdasarkan sifat genetik dibanding de-ngan transformasi yang memerlukan identifikasi genetik untuk isolasi dan kloning gen dimaksud, dan
4) dilaporkan varian-varian noveltis telah ba-nyak dihasilkan di antara somaklon yang dihasilkan variasi somaklonal. Bukti genetik dan sitogenetik mengindikasikan bahwa frekuensi dan distribusi terjadinya rekombinasi genetik dapat diubah dengan jalan lintas melatui kultur jaringan (Duncan dan Widholm, 1990, Karp, 1995)




Transformasi gen
https://aguskrisnoblog.files.wordpress.com/2012/01/proses-gambar-transgenik3.gif
1.1  Proses Molekular Transformasi Genetik oleh Agrobacterium
Yang menjadi dasar dari transformasi genetik oleh Agrobacterium adalah transfer dan integrasi T-DNA ke dalam genom di dalam inti sel tanaman. T-DNA adalah suatu bagian pada tumor inducing (Ti) plasmid yang terdapat di dalam sel Agrobacterium. Ti-plasmid berukuran sekitar 200-800 kbp dan T-region (T-DNA) nya sendiri berukuran sekitar 10% nya (10-30 kbp). T-region ini dibatasi oleh dua sekuen pembatas (border) yaitu right border dan left border yang mengapit T-region. Bagian lain dari Ti-plasmid yang tidak kalah pentingnya adalah vir-region yang mengandung sejumlah gen-gen virulen (virA, virB, virC, virD, virE, virF, virG dan virH) yang berfungsi didalam proses transfer T-DNA ke dalam sel tanaman.
Proses transformasi dimulai dengan melekatnya agrobacterium pada sel tanaman. Kejadian awal ini dimediasi oleh gen-gen yang berlokasi pada kromososm bakteri (gen chvA, chvB dan att). Langkah berikutnya adalah terinduksinya gen-gen pada vir-region oleh suatu signal yang spesifik didalam sel bakteri sehingga dihasilkan produk dari expresi gen-gen virulen untuk memproses T-DNA dan mentransfernya dari dalam sel bakteri.
Prosesing dan transfer T-DNA dimediasi oleh berbagai protein yang dikode pembentukannya oleh gen-gen virulen. Prosesing T-DNA dimulai dari suatu kejadian memproduksi T-DNA untai tunggal yang disebut T-strand yang ditransfer ke dalam sel tanaman. Kejadian ini dimediasi oleh produk dari gen virD1 dan virD2 yang berfungsi memotong T-DNA di bagian left border dan right border. Salah satu produk yaitu molekul VirD2 tetap melekat secara kovalen pada 5’end dari T-strand dan membentuk apa yang disebut T-complex yang masih setengah jadi. Pembentukan T-complex ini dilaporkan berfungsi untuk menjaga T-DNA dalam perjalanannya menuju inti sel tanaman inang.
Tahap akhir dari transformasi genetik oleh Agrobacterium adalah integrasi T-DNA ke dalam genom sel tanaman inang. Pada tahap ini Agrobacterium dilaporkan menggunakan berbagai mekanisme seluler untuk menyelesaikan proses transformasi genetik di dalam sel tanaman inang. Dilaporkan bahwa Agrobacterium memanfaatkan bantuan dari mekanisme transpot intraseluler pada sel tanaman yaitu suatu motor seperti dynin yang belum teridentifikasi, digunakan untuk mengirim T-complex menuju pori/lubang pada inti sel tanaman inang. Setelah tiba di pori/lubang tersebut Agrobacterium memanfaatkan mekanisme import didalam inti sel inang untuk memasukkan T-complex ke dalam inti. Kejadian ini dimediasi oleh interaksi antara protein bakteri yaitu VirD2 dan protein inang yaitu AtKAPαyang merupakan anggota dari keluarga karyopherinαdari Arabidopsis serta VirE2 dengan VIP1. Interaksi ini bertindak sebagai adaptor molekuler untuk membawa T-complex ke dalam inti. Di dalam inti kembali T-complex perlu bergerak menuju titik integrasi dan dilepaskan dari protein yang mengirimnya sebelum berintegrasi ke dalam genom inang. Dilaporkan bahwa molekul T-strand diubah menjadi untai ganda T-DNA agar dikenal sebagai fragmen DNA yng terpotong dan akan dimasukkan dalam genom inang.


1.2  Metode Transformasi In planta  
  Pada kebanyakan metode konvensional menggunakan A.tumefaciens, pertama-tama A.tumefaciens diinokulasikan pada jaringan mengandung embrionik sel yang aktif membelah seperti embrio muda dan kalus dalam sistim kultur jaringan. Kemudian, A.tumefaciens dihilangkan menggunakan antibiotik dan tanaman tertransformasi diseleksi dengan media selektif. Terakhir, tanaman diregenerasi dengan media tertentu. Namun demikian metode ini memiliki sejumlah kelemahan; pertama, memerlukan suatu kondisi yang steril; kedua, memakan waktu lama; ketiga, mutasi somatik atau variasi somaklonal sering terjadi pada sel tanaman selama kultur in vitro; kempat, sejumlah tanaman bersifat rekalsitran terhadap regenerasi. Semua kekurangan ini disebabkan oleh kultur in vitro sel-sel tanaman.
Metode transformasi in planta tidak menggunakan kultur in vitro sel-sel maupun jaringan tanaman dan oleh karena itu dapat mengatasi kelemahan-kelemahan pada sistem diatas. Sejumlah peneliti telah melaporkan metode in planta yang telah dikembangkannya namun demikian metode-metode tersebut belum dapat digunakan secara luas oleh peneliti lainya karenan masalah efesiensi dan kemampuan reproduksi. Suatu metode transformasi in planta untuk tanaman Arabidopsis telah dapat diterima dan dilakukan secara luas yang disebut dengan metode floral dip. Metode ini cukup sederhana; tanaman ditumbuhkan hinga fase berbunga, dicelupkan kedalam suspensi Agrobacterium, dan ditumbuhkan hingga dewasa, dan kemudian biji-biji yang dihasilkan dipanen dan dikecambahkan pada media seleksi untuk mendeteksi tanaman tertransformasi. Ukuran tanaman kecil, waktu perkecambahan pendek dan biji yang dihasilkan per tanaman  banyak merupakan prasyarat yang dipenuhi oleh metode ini. Namun demikian karena metode ini belum bisa diaplikasikan pada tanaman lain, penggunaannya menjadi terbatas hanya pada tanaman Arabidopsis.


1.3  Gene Targeting
Gene targeting juga merupakan kejadian yang dengan mudah dapat dilakukan pada E.coli dan S.cerevisae. Pada tanaman, metode yang dapat digunakan secara praktis untuk gene targeting tidak tersedia. Karena ketidaktersediaan tersebut, metode A.tumefaciens-mediated atau microprojectile sering digunakan untuk memasukkan transgen kedalam locus yang diinginkan tetapi umumnya bersifat random/acak pada lokus dalam genom tanaman menjadikan gene targeting ini sangat sulit dilakukan pada tanaman tingkat tinggi. Berbagai pendekatan telah dilakukan dan dapat dikelompokkan menjadi dua. Satu kelompok melakukan pendekatan dengan mengembangkan sistem seleksi yang efisien pada kejadian gene targeting; seleksi ini didasari atas didapatkannya kembali gen ketahanan terhadap antibiotik seperti neomycin phosphotransferase (gen nptII) dan gen ketahanan terhadap herbisida serta seleksi menggunakan marker positif dan negatif.
Kelompok lainnya menggunakan pendekatan dengan melakukan modifikasi genetik pada tanaman inang untuk meningkatkan kompetensi terjadinya rekombinasi homolog atau gene targeting. Hal-hal ini seperti tanaman yang mengekspresi protein resolvase RecA atau RuvC yang diambil dari E.coli; tanaman yang mengekspresi site-spesifik rekombinase; tanaman yang mengekspresi chimeric zinc-finger nuclease; dan tanaman yang membawa gen homolog Rad50 yang dirusak.
Gene targeting bisa menggantikan target gen tanpa adanya perusakan pada target gen sehingga fungsi gen target dapat dianalisa dengan tepat. Oleh karena itu gene targeting melalui rekombinasi homolog telah lama menjadi tujuan utama dibidang rekayasa genetik tanaman.


1.4  objek Studi
Sebagaimana dijelaskan pada subbab diatas bahwa belum ada metode transformasi in planta umum yang bisa diterapkan pada berbagai jenis tanaman. Oleh karena itu pada kuliah 2 dan 3 akan dibahas suatu penelitian yang bertujuan membuat metode yang dapat berlaku umum tersebut, yang dalam hal ini diterapkan pada tanaman padi dan tanaman gandum. Pada kuliah 4 akan dibahas penerapan pada tanaman lain yaitu tanaman buckwheat, yang merupakan bahan dasar pembutan mie soba di Jepang.
Sebagaiman pada gene targeting belum ada metode yang dapat dipraktekkan secara umum, pada kuliah 5 akan dibahas suatu penelitian yang bertujuan membuat metode yang dapat berlaku umum dengan menggunakan obyek tanaman buckwheat.   



 DAFTAR PUSTAKA

Bashalkhanov S., Pandey M., Rajora OP. 2009. A simple method for estimating genetic diversity in large     populations from finite sample sizes. BMC genetics. 10:84
Biodiversity, three parts for definition: genetics, species, and ecosystems. http://biodiversite.mediasfrance.org. Diakses: 19 Mei 2011.
Fahmi, Zaki Ismail. 2011. Pemanfaatan teknologi DNA molekuler dalam identifikasi dan verifikasi varietas tanaman perkebunan. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan.
Genetic Diversity in Rice. http://www.fao.org/docrep/006/y4751e/y4751e0c. Diakses: 21 Mei 2011.
Genetic Factors in Conservation Biology.Cambridge University Press. http://www.fathom.com/course/21701746/session3.html. Diakses: 21 Mei 2011.





0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 BERBAGI ITU INDAH All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.